Ayub sangat terkejut mendapati kabar akan kematian anak-anaknya. Ia koyaknya jubahnya dan mencukur kepalanya. Sujudlah ia dan menyembah, katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!”
Deritanyapun bertambah. Tuhan
mengijinkan Ayub ditimpa barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu
kepalanya. Lalu Ayub mengambil sekeping beling untuk menggaruk-garuk badannya.
Lalu datanglah istrinya dan
berkata: “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan
matilah!”
Jawab Ayub kepadanya: “Engkau
berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari
Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?”
Lalu datanglah ketiga sahabat
Ayub untuk menghibur dia.
Akan tetapi, walau ketiga
sahabatnya menaruh kasih kepada Ayub, namun Ayub merasa kecewa dengan mereka.
Mereka memperkatakan nasihat seakan ia seorang pendosa. Mereka juga menyalahkan
Ayub akan segala kemalangannya bahkan menyampaikan perkataan yang salah tentang
Allah.
Ayub merasa sendirian. Penuh
pergumulan. Ayubpun menyampaikan keluh kesahnya kepada Tuhan. Hingga akhirnya
Tuhan memulihkan keadaannya.
Tuhan memberikan dua kali lipat
dari segala kepunyaannya dahulu. Ia juga mendapatkan tujuh orang anak laki-laki
dan tiga orang anak perempuan. Sesudah itu Ayub masih hidup seratus empat puluh
tahun lamanya. Ia melihat anak-anaknya
dan cucu-cucunya sampai keturunan yang keempat. Maka matilah Ayub, tua dan
lanjut umur.
Kisah Ayub membukakan mata batin bahwa berkat Tuhan tidak selalu berupa sesuatu yang indah. Terkadang ia dibungkus oleh sesuatu yang terlihat buruk dan penuh derita. Namun didalamnya terdapat emas yang berharga. Emas yang merupakan buah dari iman dan berisikan kehidupan.
No comments:
Post a Comment