“Kurasa dia tidak datang hari ini,” bisik Retno diujung telepon.
“Dia siapa?”, tanya suara
diseberang telepon.
“Dia… Lelaki berjaket hitam. Dia
selalu datang ke Café La Rose, meski hujan deras sekalipun!,” bisikan Retno
terdengar tegas.
“Aku tak mengerti. Dia siapa?
Siapa namanya?”, tanya suara.
“Dia yang selalu membuatku gelisah
dalam tiap kedatangannya. Matanya tak menatap mataku. Tapi entah mengapa setiap
kali melihatnya, jantungku berdetak lebih kencang. Telapak tanganku sampai
basah bersimpuh keringat. Dia benar-benar membuatku gelisah!,” kata Retno tak
lagi berbisik.
“Itu hanya pikiran kosongmu saja.
Dia tidak ada. Dia hanya khayalanmu,” balas suara.
“Tidak… Kamu tidak mengerti. Dia
sungguh nyata. Dia hanya tidak datang hari ini. Tapi dia selalu datang. Aku
selalu melihat dia. Dia… Dia, seperti ayahku. Dia hendak menangkapku lagi. Dia
mau pulangkan aku ke institusi,” kata Retno dengan cemas.
“Itu bukan ayahmu. Itu orang
lain. Kamu tidak usah khawatir dengan itu,” balas suara.
“Aku harus pergi. Aku rasa dia
datang terlambat hari ini, tapi dia pasti akan tetap datang,” kata Retno.
“Retno, kamu tidak perlu pergi. Dia
bukan siapa-siapa. Kamu hanya perlu pulang ke rumah. Supaya kita berkumpul
kembali,” kata suara.
No comments:
Post a Comment