Saturday, October 17, 2020

Ibuku Sayang

Ibuku sayang.... Yang walau bertambah tua, bertambah keriput, bertambah pencemasnya, bertambah lambat pergerakannya, bertambah macam-macam keluhan fisiknya, dan lain sebagainya, tapi semakin bertambah sayangku padanya.

Ingat tulisanku kemarin tentang: Sesungguhnya Semua Orang Adalah Kuat? Nah, beliaulah sumber inspirasinya. 

"Tuhan memberikan kekuatan pada setiap kita", bagiku, itu sudah pasti. Tak usah diragukan kedalaman pemahamanku akan hal itu. Tempaan hidupku sudah cukup panjang untuk memiliki spiritual yang intens dengan Tuhanku, tak sebatas hanya menjadi seorang yang agamis dalam lingkup pemahaman yang sempit. 

Walau demikian, kita perlu ingat bahwa cara Tuhan mendidik kita untuk menjadi seorang yang kuat, juga melalui teladan dan tempaan dari orang-orang terdekat kita. Kalau buatku, pelatihan menjadi seorang pribadi yang kuat, salah satunya berasal dari ibuku. 

Sosok seorang ibu yang memiliki cinta kasih seluas samudera bagiku. Terlebih hanya aku seorang anaknya, tak ada stok serep anak lainnya. Meski dibalik itu, dari sejak aku kecil, ia juga seorang yang sering bergumul dengan perasaan tidak sehat yang sebenarnya lebih banyak bersumber dari kecemasannya yang berlebihan. Bertahun-tahun hingga sekarang, meski ia mudah merasa begitu lemah, tetapi aku malah memaknai sebaliknya, yaitu sebenarnya ia adalah seorang yang sangat kuat. 

Ia hanya belum sepenuhnya memahami bahwa ketahanannya menjalani beragam perasaan tidak nyaman itu, justru merupakan gambaran kekuatannya. Kenyataan dirinya yang ternyata tanpa aku sadari melatih dirikupun menjadi seorang yang kuat. Walau begitu, kesadaran akan kekuatan yang kita miliki juga berkolaborasi dengan kepribadian dan karakter dari masing-masing kita, sehingga diaktulisasikan dalam bentuk perilaku yang berbeda. Jadi, Ibuku adalah panutanku, sehingga aku menjadi seperti aku saat ini. 

Memang tidak mudah memahami seseorang yang mengalami perkembangan perilaku ketika ia menjadi tua. Aku sangat mengerti bila kita menjadi tidak sabar dan bisa jadi sering bergulat dalam situasi yang penuh drama. 

Tapi ingatlah bahwa kelak kitapun akan menua dan rapuh, seperti para orang tua kita saat ini. Ketika tiba masa itu, maka sangat wajar bila kita membutuhkan dukungan yang besar dari para support system kita. Dukungan berupa kasih sayang, perhatian, bantuan, semangat dari anak, pasangan, keluarga maupun sahabat, dapat menjadi energi yang meningkatkan antusiasme dari para senior (lansia). 

Jadi teman-temanku, bagi kita yang masih Tuhan beri kesempatan mendukung orang tuanya yang sudah lansia, mari kita nikmati masa-masa emas ini. Tidak semata-mata karena kita harus menjadi anak yang berbakti pada orang tua, melainkan karena kita pernah merasakan kasih sayangnya dari semenjak kita kecil hingga saat ini. 

Saat ini adalah masa yang paling tepat untuk kita menyatakan pada orang tua kita, bahwa dalam segala ketidaksempurnaannya sebagai orang tua, namun ia sudah berhasil mendidik kita dengan cinta kasihnya yang sempurna.

Sesungguhnya Kita Semua Adalah Orang Yang Kuat

Sudah hampir sebulan ini aku mendapatkan berkat untuk menemani dan merawat orang yang terus merasa dirinya tidak sehat. Meski pada kenyataannya akupun tengah berjuang dengan kondisiku yang terbatas, tetapi (menariknya) justru aku merasa semakin kuat. Bahkan dengan penuh kesadaran, aku mengajukan diri untuk turut mendampingi beberapa orang yang kini juga tengah beradaptasi dengan keadaan sakitnya, baik yang tergabung dalam komunitas maupun perorangan. 

Jujur, aku juga sempat heran pada diriku. Bagaimana mungkin si sakit punya kemampuan untuk menyembuhkan orang sakit lainnya? Seakan menjadi orang buta yang berjalan menuntun orang buta lainnya. Hingga akhirnya aku menemukan jawabannya, begini...

Teman-teman, tahukah engkau bahwa seorang yang sedang sakit (entahkah fisik atau psikis), sebenarnya adalah orang-orang yang kuat? Paling tidak, ia dapat menjalani hari-harinya untuk terus bertahan, bergulat dan berjuang dengan rasa sakit yang terus mengganggunya. Antara mau menyerah, ataukah terus melawan, ataukah berusaha berdamai dan menerima kehadiran rasa sakit itu sebagai bagian dari dirinya. Bagian dari tubuh dan pikirannya sendiri. 

Seorang yang sakit bukanlah seorang yang lemah, walau dalam keterbatasan fisiknya ia tetap membutuhkan orang lain. Tetapi secara ketahanan diri, ia masih mampu berjuang menghadapi kesulitan yang ada. Bisa engkau pahamikan, bahwa ternyata seorang sakit adalah seorang yang sebenarnya kuat? 

Hanya saja, keyakinan dirinya tersebut perlu dinyatakan berulang kali oleh orang lain. Itulah mengapa kelompok pendukung (support system) akan turut berkontribusi meningkatkan keyakinan diri sang pasien, termasuk berhasil meningkatkan imunitas tubuh pasien. 

Ketika seorang yang sakit mulai bisa menerima keterbatasan dan kesakitannya, bisa jadi ada sebuah perkembangan cara berpikir. Yaitu, ia dapat lebih berempati, bahkan tergerak untuk turut menjadi kelompok pendukung bagi orang lain yang masih beradaptasi dengan kondisi sakitnya. 

Walau ia belum sepenuhnya sembuh, namun fokus perhatiannya mulai meluas. Dari yang tadinya hanya berpusat pada keadaan diri sendiri, kini mulai menemukan pemaknaan yang lebih tinggi akan maksud dan tujuan Sang Pencipta terhadap dirinya. Ia mulai dapat menghargai setiap berkat dari rasa/keadaan sakitnya. Unik ya? Tapi memang disitulah letak kekuatanNya. 

Hari Baru, Semangat Baru, Cerita Baru

Terkadang kita perlu memaksakan diri untuk bergerak maju dan tak terlena dengan alasan macam-macam. Entah alasan sakit, capek, bosan, kesal, dst. Apapun alasan itu, toh hidup harus jalan terus khan? Paling tidak, prinsip itu membuat kita lebih berani untuk lanjutkan perjalanan dan kehidupan. 

Semalam setelah sempat terbangun, akhirnya malah jadi susah tidur lagi dan jadilah mengobrol panjang dengan PakSu soal macam-macam. Termasuk obrolan panjang membahas aspek psikologis dan gambaran kepribadian dari 2 orang mantan Presiden Indonesia yang terakhir. Edannn...berat amat ya topik menjelang tidurnya, sampai baru tidur jam 12 malam.  Tapi memang menarik loh! 

Dengan tahu gambaran kepribadian para pemimpin tersebut, kita jadi memahami mengapa mereka mengambil keputusan-keputusan dan langkah-langkah tindakan seperti yang kita tahu bersama. Dan diakhir obrolan, kami mencoba mengambil hikmah buat diri sendiri, bahwa walau ada banyak tantangan yang dihadapi atas keputusan-keputusan yang kita ambil, kita harus bisa cepat move on. 

Tak usah sesali begitu berlebihan dan penuh drama, segala hal yang ada dibelakang. Cepat ambil hikmahnya. Jangan habiskan energi kita dimasa tersebut. Toh masa lalu tak bisa diubah. Hal penting yang bisa dilakukan adalah ambil pembelajaran dari situ untuk menjadi bekal menghadapi tantangan dimasa kini dan masa depan. Resep itu yang bisa membantu kita menjadi lebih bahagia.

Ku bayangkan kalau kehidupan iitu ibarat aku sedang menikmati buah kesukaanku, lemon. Yang bila gigitan pertama terasa begitu kecut, lantas menjadi kapok tidak mau melanjutkan gigitan berikutnya, maka kita akan kehilangan vitamin C yang teramat bermanfaat bagi tubuh kita. Perubahan kearah yang lebih baikpun tak akan pernah terjadi dalam hidup kita. 

Yuk, kita lanjutkan perjalanan lagi. Ubah cara berpikirmu. Percikkan lagi semangatmu yang baru, untuk bisa melanjutkan cerita indahmu yang baru. Ayo, habiskan buah lemonmu!

Gelisah

“Kurasa dia tidak datang hari ini,” bisik Retno diujung telepon.

“Dia siapa?”, tanya suara diseberang telepon.

“Dia… Lelaki berjaket hitam. Dia selalu datang ke CafĂ© La Rose, meski hujan deras sekalipun!,” bisikan Retno terdengar tegas.

“Aku tak mengerti. Dia siapa? Siapa namanya?”, tanya suara.

“Dia yang selalu membuatku gelisah dalam tiap kedatangannya. Matanya tak menatap mataku. Tapi entah mengapa setiap kali melihatnya, jantungku berdetak lebih kencang. Telapak tanganku sampai basah bersimpuh keringat. Dia benar-benar membuatku gelisah!,” kata Retno tak lagi berbisik.

“Itu hanya pikiran kosongmu saja. Dia tidak ada. Dia hanya khayalanmu,” balas suara.

“Tidak… Kamu tidak mengerti. Dia sungguh nyata. Dia hanya tidak datang hari ini. Tapi dia selalu datang. Aku selalu melihat dia. Dia… Dia, seperti ayahku. Dia hendak menangkapku lagi. Dia mau pulangkan aku ke institusi,” kata Retno dengan cemas.

“Itu bukan ayahmu. Itu orang lain. Kamu tidak usah khawatir dengan itu,” balas suara.

“Aku harus pergi. Aku rasa dia datang terlambat hari ini, tapi dia pasti akan tetap datang,” kata Retno.

“Retno, kamu tidak perlu pergi. Dia bukan siapa-siapa. Kamu hanya perlu pulang ke rumah. Supaya kita berkumpul kembali,” kata suara.

“Itu bukan rumah! Kau selalu berbohong padaku! Itu bukan rumah! Itu penjara orang gila! Dan aku tidak gilaaa,” teriak Retno sambil berlari menembus hujan. Meninggalkan gagang telepon umum yang rusak. Tergantung tanpa suara. 

Fatamorgana


Pipi pria itu menggembung. Mulutnya maju menyembulkan asap rokok. Asap yang perlahan membumbung tinggi menuju eternit rumah. Tetapi tak sampai semenit, asap itu menghilang. Ditaklukkan hembusan lembut udara yang keluar dari bibir merah perempuan itu. Mereka lalu tergelak bersama. Seakan mendapat mainan baru. Mainan hembus-hembusan. Entah keseruan apa pada permainan itu. Mereka hanya iseng, mencari hiburan, mengisi kekosongan.

Setelah puntung rokok sudah bertemu filternya, apipun padam. Seketika itu juga perempuan itu menghilang. Seperti hembusan udara terakhir yang keluar dari mulut pria itu. Ah, ternyata ia hanya fatamorgana. Pengusir kebosanan dihari panjang tanpa tujuan.

Hikmah Emas Dari Kisah Ayub

Ayub sangat terkejut mendapati kabar akan kematian anak-anaknya. Ia koyaknya jubahnya dan mencukur kepalanya. Sujudlah ia dan menyembah, katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!”

Deritanyapun bertambah. Tuhan mengijinkan Ayub ditimpa barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya. Lalu Ayub mengambil sekeping beling untuk menggaruk-garuk badannya.

Lalu datanglah istrinya dan berkata: “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!”

Jawab Ayub kepadanya: “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?”

Lalu datanglah ketiga sahabat Ayub untuk menghibur dia.

Akan tetapi, walau ketiga sahabatnya menaruh kasih kepada Ayub, namun Ayub merasa kecewa dengan mereka. Mereka memperkatakan nasihat seakan ia seorang pendosa. Mereka juga menyalahkan Ayub akan segala kemalangannya bahkan menyampaikan perkataan yang salah tentang Allah.

Ayub merasa sendirian. Penuh pergumulan. Ayubpun menyampaikan keluh kesahnya kepada Tuhan. Hingga akhirnya Tuhan memulihkan keadaannya.

Tuhan memberikan dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu. Ia juga mendapatkan tujuh orang anak laki-laki dan tiga orang anak perempuan. Sesudah itu Ayub masih hidup seratus empat puluh tahun lamanya. Ia  melihat anak-anaknya dan cucu-cucunya sampai keturunan yang keempat. Maka matilah Ayub, tua dan lanjut umur.

Kisah Ayub membukakan mata batin bahwa berkat Tuhan tidak selalu berupa sesuatu yang indah. Terkadang ia dibungkus oleh sesuatu yang terlihat buruk dan penuh derita. Namun didalamnya terdapat emas yang berharga. Emas yang merupakan buah dari iman dan berisikan kehidupan. 

1928

Kaukah itu kasih?

Jauh dari pandangan mata

Berdiri gelisah dalam barisan 

Dibibir dermaga kenangan


Kaukah itu kasih?

Melambaikan sapu tangan merah mudamu

Menghembuskan cinta dalam rangkaian doa buatku

Melebihi harum minyak wangi melatimu


Kaukah itu kasih?

Tak sabar ingin memeluk erat tubuhmu

Rindu dan banyak kisah ingin kubagi padamu 

Tentang kami para pejuang muda


Kau akan tahu kasih,

Para jong dulu tercerai berai

kini kami bersatu

Kami bersama Muhammad Yamin, Soegondo Joyopuspito, Djoko Marsaid, Wage Rudolf Supratman, Sie Kong Liong, Kartosuwiryo, Soenario Sastrowardoyo, Amir Syarifudin, Johannes Laeimena

Kami ikrarkan Sumpah Pemuda!



Kau akan tahu kasih,

Sebentar lagi 

Indonesia akan merdeka!



Sunday, October 11, 2020

Celah

     Sore itu, keriaan ditempat wisata pantai Ancol berubah menjadi ketegangan. Kaki adikku yang berusia 6 tahun, terjepit dicelah bebatuan pantai. Entah bagaimana caranya kaki itu bisa masuk kesana dan sulit dikeluarkan lagi. Untuk seorang anak kecil, kecelakaan seperti itu sangat mudah membuat ia merasa panik. Bahkan suara ibu yang berusaha tetap tenang untuk membujuknya, tidak juga berhasil meredakan kepanikannya.

      Di 15 menit pertama, suara tangisannya terdengar semakin kencang karena usahanya yang gagal untuk membebaskan kakinya dari celah. Sambil terus menangis ia berusaha mengubah-ubah posisi kakinya yang terjepit, tapi tak sedikitpun ada perubahan. Malah kaki itu tampak mulai memerah dan terasa sakit karena bergesekan dengan batu yang kasar. Kasihan adikku. Ia mulai tampak lemas, meski suara tangisan masih sayup terdengar.

     Setelah 15 menit berlalu tanpa hasil dan pertolongan yang diharapkan tidak kunjung datang. Adik mulai terlihat semakin lelah menangis dan hanya bersandaran lemah dipelukan ibu. Orang-orang yang tadinya sempat mengerumuni, kini mulai mengerti untuk memberi ruang agar adikku bisa tetap nyaman bernafas.

     Perlahan semua terdengar hening. Seakan pasrah, tanpa tahu apa lagi yang harus dilakukan. Tiba-tiba, entah bagaimana caranya, kaki adik bisa terbebas dari celah batu dengan sendirinya. Ha? Kok, bisa? Semua orang kaget, termasuk yang punya kaki. Mujizat...



Mimpi Sang Gadis Lajang

Kupejamkan mataku. Tergambar jelas guratan wajahmu dalam benak. Setipis senyum terlihat jelas. Mata teduh membuat batin ingin bergelayut disana. Walau bibirmu tak pernah bersuara. Wajahmu tanpa gerak. Seperti gambar dalam bingkai foto berwarna emas. Sayangnya, itu wajah yang tak ku kenal punya siapa. Tetapi melekat erat bagai berkawan akrab dengan benak. Mungkinkah engkau jodohku?

Abadi


Tadinya aku kira kebaikan itu akan selalu abadi tersimpan erat dalam ingatan setiap orang. 

Ah, ternyata aku salah. 

Hanya karena setitik noda kesalahan, segala kebaikan itu dianggap kemunafikan.
 
Apalah arti kebaikan dimata manusia yang terbatas kesabaran, ketabahan dan kebijaksanaannya. 

Bangunlah ketaatan pada Tuhan, agar kebaikan itu abadi tersimpan dalam ingatan dan hatiNya.
 
Tuhan tetap selalu mencintai kita, meski kita masih belajar untuk dapat konsisten terus mencintaiNya.



Thursday, October 8, 2020

Osvita Punya Cerita Dibalik Corona (bagian 3, tamat)

        Menurut dokter Onkologiku, operasiku kali ini agak diluar kebiasaan. Biasanya sebelum dilakukan operasi pengangkatan sel  kanker, akan lebih dulu dilakukan tindakan biopsy atau pengambilan sampel jaringan. Agar dapat mengetahui apakah tumor itu jinak atau ganas. Tapi, berhubung sedang masa pandemi dan dokter menghindari pasien bolak balik ke rumah sakit (takut mudah tertular Covid), maka operasi dilakukan sekaligus. Diawali dengan biopsy dan bila ditemukan tumor ganas, maka langsung dilakukan tindakan lanjutannya, yaitu mengangkat 1 payudara yang terkena kanker tersebut. Untuk kasus ku, walau ukuran kankernya masih 2 cm tapi ternyata sudah tergolong ganas dan harus segera dituntaskan. Jadi sekarang, 'parkiran kiriku" sudah lapang.

       Sungguh bersyukur operasi bisa berjalan lancar. Aku lega sekali karena baru kali ini aku tidak merasakan sakitnya pembiusan menjelang operasi. Semua mulus saja. Aku masuk ruang operasi sekitar jam 8.30 dan selesai sekitar jam 10.40. Aku bisa bangun dan melihat suamiku sudah memandang ku dengan wajah manisnya di sebelah tempat tidurku. Berasa sangat dicintai deh..

        Pasca operasi, tahap demi tahap terasa sangat lancar. Aku sungguh menikmati prosesnya. Hari pertama pasca operasi, aku sudah mulai bisa minum dan makan dengan aman, walau masih lebih banyak mengantuk, karena sisa-sisa obat biusnya. Hari kedua, aku sudah mulai belajar duduk. Sangat tidak mudah melakukannya. Terlebih karena bagian kiri yang diambil, maka otomatis otot lengan kiri juga berpengaruh, terutama pada saat terjadinya peregangan otot pinggang ke arah lengan. Kalau ada pergerakan lengan yang tiba-tiba dan terlalu lebar, maka rasa nyeri yang amat sangat, langsung menyerang. Jadi harus belajar mengolah nafas, agar rasa sakit masih bisa ditahan. Bersamaan dengan itu, tangan kiriku juga jadi terasa begitu lemah. Belum kuat memegang ataupun mengangkat sesuatu. Yah, bertahap saja untuk dilati

        Di hari ketiga aku sudah mulai belajar bangun dari tempat tidur, buang air kecil di kamar mandi (tidak lagi di pispot) dan belajar mandi sendiri dengan segala keterbatasan yang ada. Wahh aku bahagia sekali bisa melakukannya setahap demi setahap. Dan di hari keempat ini, aku sudah diijinkan pulang oleh dokter! Horeeee.. Semua terasa sangat dimudahkan oleh Tuhan. Tidak semenegangkan seperti yang ku bayangkan sebelumnya. Luar biasa...





        Di minggu depan aku diminta untuk kontrol ke dokter, agar dokter dapat memantau perkembanganku dan memastikan hasil laboratorium. Dari hasil lab itulah yang nanti dapat menunjukkan apakah aku tergolong stadium 2a atau sudah masuk 2b. Kalau masih 2a, berarti sebaran sel kanker belum sampai ke kelenjar getah bening dan aku tidak harus dilanjutkan ke tahap kemoterapi. Yah, semoga saja semua masih aman. Tapi kalaupun tidak, Tuhan pasti punya maksud dan aku pasti akan terus dikuatkan menjalani semuanya.

        Penutup sharing pengalaman ini, aku ucapkan banyak terima kasih bagi semua keluarga dan kawan yang ada di berbagai belahan Indonesia maupun di manca negara. Aku sungguh tak menyangka mendapatkan begitu banyak simpati, dukungan bahkan bantuan dari berbagai kawan.

        Semakin menambah kesan juga adalah perhatian dari banyak kawan yang aku kenal dari media sosialku (Fb & IG). Kita sama sekali belum pernah berjumpa secara fisik, tapi kalian selalu konsisten memberikan perhatian. Sekali lagi, terima kasih dari lubuk hatiku yang paling dalam. Kiranya Tuhan yang Maha Baik akan membalas segala kebaikan hati kalian semua.

        Salam sehat dan semangat selalu. Mari kita lanjutkan berbagi hal positif dan menginspirasi. Tuhan memberkati kita semua.

Monday, October 5, 2020

Seninya Menghasilkan Sebuah Karya Tulis

Mendapat tantangan untuk menulis sering kali membuatku gentar walau hanya sesaat. Bukan karena kegiatan menulis merupakan hal yang sangat baru dan sulit bagiku. Tapi entahlah. Rasanya otakku ini langsung men-setting dirinya untuk menganggap tantangan itu seakan menjadi sebuah tuntutan. Tuntutan yang dapat membuatku merasa kurang rileks, agak tegang dan seketika merasa ragu dengan kemampuanku dalam menulis. Aneh ya? Tapi begitulah adanya. Mungkin karena ada sedikit warna perfeksionis yang sesekali masih sering muncul ketika aku sedang mengerjakan suatu tugas. Perfeksionis yang setahun terakhir ini sudah mulai bisa aku taklukkan meski sesekali ia masih menggodaku. Hingga menghentikan proses penulisan yang sedang berjalan. Sungguh menyebalkan. 

Lalu saat ini, aku mulai memberanikan diri berhadapan dengan lap top. Memandang layar kosong yang pasrah untuk diisi olehku. Tetapi aku hanya diam. Bingung mau memulai dari mana. Berpikir beberapa saat mencari inspirasi. Lalu mulai mengetik hal apa saja yang terlintas dalam pikiranku. Belum mengarah pada tujuan tertentu. Hanya mencurahkan isi pikiran. Seakan sedang pemanasan sebelum memulai olah raga. Sesudah menuliskan beberapa hal, aku pindahkan kursor ke sisi yang lain. Mulai membuat curhatan yang sedang aku tuliskan saat ini. Menuliskan hal jujur yang aku rasakan ketika mendapat tantangan diminta menulis sebagai kegiatan yang biasa dilakukan. Buatku, kejujuran dan ketulusan kita menuangkan isi pikiran ke dalam tulisan, akan menjadikan isi tulisan penuh makna dan bisa membuat kita sendiri merasa terinspirasi dengan apa yang kita tuliskan. 

Menulis pada kenyataannya adalah hal yang memang selalu aku suka. Perjalanan menulis dari sejak dibangku sekolah (walau tidak rutin melakukannya), menjadi kegiatan yang selalu menyenangkan. Hingga ketika kuliah, aku pernah nekat menawarkan diri menjadi pembuat naskah untuk drama Natal. Lalu berkembang lebih jauh untuk belajar membuat pementasan drama-drama pendek, baik sebagai penulis naskah maupun sutradaranya. Kala itu, aku sungguh merasa menjadi seorang seniman. Meski diperjalanan waktu, aku memutuskan untuk lebih serius menuntaskah kuliah demi mewujudkan cita-cita lama, menjadi seorang psikolog. Kini cita-cita barupun kembali tumbuh, yaitu menjadi seorang psikolis alias psikolog yang gemar menulis.

Ibuku Sayang

Ibuku sayang.... Yang walau bertambah tua, bertambah keriput, bertambah pencemasnya, bertambah lambat pergerakannya, bertambah macam-macam k...